Wednesday, September 11, 2013

Budaya Politik Di Indonesia



Budaya Politik Di Indonesia
 
Budaya Politik Jawa

Budaya politik kawula gusti sebenarnya dapat dikaji dari etika Jawa, yang terkenal tabah juga ulet. Mereka memang sudah sejak dulu terpatri dengan kromo inggil yang ternukil dalam berbagai falsafah hidup. Misalnya dalam kepasrahan menghadapi tantangan hidup, mereka menyebut “nrimo” (menerima dengan pasrah). Sebaliknya dalam meniadakan kesombongan bila memperoleh keberuntungan, mereka memakai istilah “ojo dumeh” (jangan mentang-mentang”.
Bila menghormati orang yang dituakan, lalu mengangkat seluruh jasa-jasanya untuk dicontoh dan dibenamkan dalam-dalam apa yang keliru diperbuat oleh tokoh tersebut supaya tidak terulang lagi disebut “mikul dhuwur mendem jero” (memikul tinggi-tinggi, mengubur dalam-dalam).
Untuk meningkatkan kebersamaan dan kekeluargaan mereka beristilah “mangan ora mangan pokok-e kumpul” (makan tidak makan yang penting berkumpul). Dalam memantapkan pekerjaan agar teliti dan berhati-hati walaupun kemudian memerlukan waktu, mereka beristilah “ alon-alon waon kelakon” (pelan-pelan asal tercapai).
Dalam merendahkan diri dan mengurangi kesewenang-wenangan bertindak, walaupun terhadap bawahan sekali pun, mereka memberi istilah “ngono yo ngono, ning ojo ngono”. Hal ini sejalan dengan usaha bertata krama walaupun terhadap pihak yang telah dikalahkan, mereka memberi istilah “ngluruk tanpa bolo, digdaya tanpa aji-aji, menang tanpa ngasorake”.
Dalam politik orang Jawa relatif lebih merendah dibandingkan suku-suku lain di Indonesia, yang terwujud dari bagaimana cara mereka memasang keris. Bila orang Bugis-Makassar, Minangkabau, Banjarmasin, dan Aceh, masing-masing menyelipkan badik, keris, mandau, dan rencong mereka pada dada dan perut (di depan_) maka orang Jawa menyimpan kerisnya di punggung (di belakang), agar tampak tidak mengancam. Hanya mungkin ada yang menilai kurang jantan. Itulah sebabnya dalam politik, orang Jawa lebih senang berkelahi dari belakang dari pada berhadap- hadapan.
Budaya Politik Bali

Unsur kehidupan masyarakaat dan kebudayaan di Bali, berkembang seiring dengan perkembangan unsur-unsur yang berasal dari budaya agama Hindu Jawa, terutama berasal dari perluasan pengaruh kekuasaan Singosari dan Majapahit. Hal ini tampak dalam tradisi seperti adanya tokoh pedanda, nama-nama yang menunjukkan kasta, upacara pembakaran mayat, berbagai tarian dan arsitektur bermotif Hindu. Ini berpengaruh pula dalam budaya politik.
Namun kemudian terjadi perkembangan budaya Bali menjadi tradisi modern, sejak kemerdekaan Republik Indonesia. Ditambah pula oleh banyaknya wisatawan asing dan domestik yang masuk ke Bali. Dengan demikian, pendidikan dan budaya serta pengaruh-pengaruh masa kini telah banyak membawa perubahan, terutama dalam sistem pelapisan kasta. Tetapi yang paling penting dalam kehidupan sosial masyarakat Bali adalah adanya asas gotong royong, baik sebagai nilai budaya maupun dalam sistem perilaku. Gotong royong telah menjadi landasan dari berbagai bentuk kegiatan sosial di Bali sehingga tampak sangat mengerakan kehidupan kekerabatan dan komunikasi masyarakat Bali.
Bentuk gotong royong tersebut diberi berbagai istilah dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh yaitu :
           
a. Ngoupin (gotong royong antarindividu atau keluarga).
     
b. Ngedeng (gotong royong antarperkumpulan)
         .
c. Ngoyah (gotong royong untuk keperluan agama).
 
Itulah sebabnya masyarakat Bali relatif jauh dari keinginan untuk memisahkan diri dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia, rasa kegotongroyongan mereka terbentuk dari budaya mereka sendiri, kendati kesempatan untuk hal tersebut memungkinkan melihat potensi pariwisata yang mereka miliki. Bayangkan betapa banyak para turis dari manca negara yang mengatakan “see Bali before your die” artinya bila meninggal orang perlu mendambakan surga maka sebelum mati orang perlu mendambakan Bali. Sayang keberadaan kasta yang sebenarnya adalah untuk menentukan tingkat pemahaman seorang umat Hindu, dimodifikasi oleh penjajah asing menjadi kelas dalam masyarakat.
Budaya Politik Bugis-Makassar

Sebenarnya antara suku Bugis dan suku Makassar terdapat perbedaan, namun kesamaannya lebih besar daripada perbedaannya sehingga dalam tulisan ini digolongkan dalam satu kategori. Sebagai pelaut, suku Bugis dan Makassar ini cukup bertebal muka dalam pergaulan; namun andai kata lebih sensitif akan berakibat lebih fatal. Hal ini karena mereka memiliki budaya siri sebagai penebusan rasa ketersinggungan, bila harga harkat keberadaan dirinya terinjak. Misalnya dalam menjaga anak perawan mereka.
Siri dapat berakibat hilangnya nyawa orang lain, untuk itu tidak diperlukan pandai bersilat karena tantangannya adalah duel dalam sarung dengan badik terhunus. Jadi keahlian silat tetap riskan bagi pelakunya. Di bidang kepemimpinan pemerintahan, suku Bugis-Makassar ini tepat mengisi posisi legislatif karena kemampuan dan keberaniannya dalam berbantahan.
Tetapi bila masyarakat Bugis-Makassar merantau meninggalkan negerinya, keakraban bagi mereka yang berada di rantau orang, lalu muncul rasa kekeluargaan yang mendalam, yang mereka memang memiliki rasa segan terhadap yang dituakan, risikonya sulit mengusut korupsi di kalangan mereka yang memiliki hubungan kekerabatan.

No comments:

Post a Comment